Koalisi Jokowi Korban Sistem Multipartai

JAKARTA - Polarisasi dua kekuatan di Parlemen yang tercermin dalam pemilihan Pimpinan DPR/MPR merupakan konsekuensi dari sistem presidensial multipartai. Koalisi Indonesia Hebat menjadi korban sistem tersebut. 

Hal itu dikatakan Wakil Ketua Komisi II DPR, Khatibul Umam Wiranu melalui pers rilis kepada Okezone, Kamis (9/10/2014).

Dia mengatakan, desain ketatanegaraan RI pascareformasi berdiri di atas kombinasi (yang secara teoritik mustahil) yakni presidensialisme dengan multipartisme yang mengakibatkan legitimasi ganda: presiden yang dipilih langsung dan parlemen yang anggotanya juga dipilih langsung oleh rakyat. 

"Dalam posisi seperti saat inilah tugas konstitusional DPR ya mengawasi kerja eksekutif," kata Khatibul.

Sistem presidensialisme multipartisme memberi konsekuensi turunan yakni jika presiden yang dipilih langsung oleh rakyat tidak mendapatkan dukungan mayoritas partai politik di parlemen pasti menimbulkan persoalan yang amat rumit.

"Dalam sistem presidensial multipartai, presiden juga harus melakukan kompromi dengan partai politik. Jika tidak melakukan kompromi, situasi politik seperti saat ini tidak bisa dihindari," ungkapnya.

Khatibul mengatakan, jalan satu-satunya untuk menyudahi persoalan ketatanegaraan seperti yang terjadi saat ini, pilihan menyederhanakan partai politik mutlak dilakukan. Presiden dan DPR harus berani menaikkan parliamentary thershold (batas ambang keterwakilan parlemen) minimal 10 persen.  
 "Cara ini untuk mendorong terbentuknya sistem presidensial multipartai terbatas. Idealnya ada tiga hingga empat partai politik saja," terangnya.

Kekalahan Koalisi Jokowi dalam UU MD3, UU Pilkada, pemilihan pimpinan DPR/MPR, menurut politikus Partai Demokrat itu, merupakan contoh paling nyata yang diakibatkan sistem presidensialime multipartai. Semua pihak tidak boleh kecewa dengan situasi seperti saat ini.

"Oleh karenanya, MPR periode 2014-2019 ini perlu mendorong amandemen kelima UUD 1945 untuk menyempurnakan konstitusi kita yang masih banyak lubang kekurangannya," jelas Khatibul.

Apakah formasi politik di Parlemen seperti saat ini memungkinkan impeachment presiden? "Impeachment presiden dalam konstitusi kita merupakan hal yang sulit dilakukan, tetapi bukan hal yang mustahil dan ditabukan dalam konstitusi kita. Karena konstitusi juga memberi ruang seperti itu," cetusnya. (trk)